INDONESIA
1000 keanekaragamanmu”
Uniq, asik bahkan menggelitik sekelompok elit
Sedang mereka.. Hidup dalam kekumuhan berteman bakteri, Kotor!!!
Ihh.. Indonesia begini amat??” kata mereka yang tak paham.
Indonesiaku, Indonesiamu
Indonesiaku merah, marah terhadap mereka tangan-tangan yang sedang bermain dengan amanah menjaga dirinya
Ingin menghabisi seperti jagal-jagal berduit yang tak kenal tempat..
Tega mengotori sang Putih Bendera yang suci dengan omong-omong kosong berlandas Hak Asasi!!
INDONESIA!!!!!
Tak habis sedikit peluhku mematahkan impian-impian yang kosong semakin meraja, mereka tenyata ada dimana-mana beridealis atas nama BANGSA..
Padahal yang ada cuma ya BANGSAT-BANGSAT KORUPTOR tercinta yang kelewat dimanja..
TETAP INDONESIAKU
Yang ramah bagi kami yang punya HARAPAN
INDONESIA memiliki pemimpin yang adil
INDONESIA kaya budaya dan bahasa.. Apalagi Sumber Daya Alam
Warnamu tetap Merah-Putih
Yang Marah terhadap ketidak adilannya mereka..
Indonesia Tanah Airku,” dan aku menyanyikan lagu kebangsaan dengan Bangga.
tak perdulli mereka bilang apa
INDONESIAKU tetap nomer SATU dan Aku BANGGA kepadamu..!!
AHh…
INDONESIAKU!!!!
Selasa, 29 November 2011
yang kita mau pada saat ini
untuk Indonesiaku
Aku mau punya bapak yang tidak korupsi
Aku mau punya ibu yang tidak suka menonton sinetron televisi
Aku mau punya teman yang gemar membaca
Aku mau kita semua cinta Indonesia !
indonesia
Dari Sabang sampai Merauke
Dari Kutai sampai Reformasi
Tanah airku tetap harum dan berdikari
Dari gubuk sampai tugu Monas
Dari Mulwarman sampai Susilo
Tanah airku tetap suci dan berdikari
Aku syukuri aku hidup di bumi ini
Tinggal di Ibu Pertiwi yang berharga diri
Bersama Iman dalam perjuangan
Aku syukuri aku besar di jaman ini
Saat bangsaku sudah merdeka
Oleh pengobanan anak-anak negeri yang sejati
Indonesia…… Tanah airku
Aku mengabdi padamu
Dalam semangat pembangunanmu
Indonesia…… Tumpah darahku
Aku berbakti padamu
Dalam perjuangan hari esokmu
Indonesia… Negeriku tercinta
Bangunlah bersama semangatku
Tuk benahi bencana yang lalu
Indonesia…… Bangsaku tercinta
Sucikanlah bersama semangatmu
Tuk bersihkan sampah-sampah korupsi
Yang gerogoti kekayaan alammu
untuk indonesiaku
Dari Sabang sampai Merauke
Dari Kutai sampai Reformasi
Tanah airku tetap harum dan berdikari
Dari gubuk sampai tugu Monas
Dari Mulwarman sampai Susilo
Tanah airku tetap suci dan berdikari
Aku syukuri aku hidup di bumi ini
Tinggal di Ibu Pertiwi yang berharga diri
Bersama Iman dalam perjuangan
Aku syukuri aku besar di jaman ini
Saat bangsaku sudah merdeka
Oleh pengobanan anak-anak negeri yang sejati
Indonesia…… Tanah airku
Aku mengabdi padamu
Dalam semangat pembangunanmu
kampung galam
telur itik di singgora
pandan terletak dilangkahi
darahnya titik di singapura
badannya terhantar di langkawi
lihatlah telapak tanganku, puan
dari pasai, garis-garis itu bersilangan
tak ada ujung yang patah, pada pangkal
ia tersadai
mungkin pinang terbelah itu,
bukan sihir di matamu, bukan pada dendam
mestinya dikutuk, tapi sebagai tun,
merantau adalah janji, seperti pantun
sampiran adalah juga isi
aku pernah datang pada maghrib,
saat suamimu raib, di hujung pasar
sebuah kampung pernah gusar, padahal
tak sampai ke ceruk aku bertamu, tak pula
ke lubuk sampaiku di hatimu
apakah ini cinta, atau gelap mata,
kadang orang tumbang di tengah dendang,
saat orang bilang maling pada pendatang,
kadang, aku bimbang pada tumbang,
saat kau telanjang sambil melenggang
alahmak, aduhai, alangkah,
bahwa murka, adakah ia lupa pada tuhan,
sebab wahai, kezaliman ini milik siapa,
jika tertangkap kita, mari selingkuh,
atau dibunuh
maka aku mati, kerismu menusuk
di hatiku, kelak kau luka jika tak berduka,
tapi suamimu raja singapura, tegak berdoa
bagai tak rela, entah kau si penabur bunga,
entah menangis entah menahan tawa
todak, todak, todak, suara siapakah
yang bergelombang itu, nelayan tak melaut
seribu tahun lalu, maka takutlah sejarah,
pada dayung patah, pada sampan terbang,
ikan-ikan yang tak pandai berenang
tapi si gladius menombak,
menyibak air birahimu, ini jantan atau betina,
pada puncak arus ikan-ikan kecil berdansa,
si tuna atau brakuda, tak penting pada siapa
ia memangsa, makan, makan, makan
lalu itukah hening, yang kau ceritakan
pada anak sungai, sehabis badai, setelah kematian
merebak di mana-mana, padahal itulah asin,
anyir darah dari nyeri, rasa sakit pulau-pulau,
itulah sepi, detak jam yang mati
hang nadim, hang nadim, hang nadim,
lalu anak-anak bangkit, orang tua yang pandai
membunuh, yang tumbuh tak mesti api, tapi sirih
merambat di tiang langit, memanjat bagai semut,
dan tengoklah, tangan tuhan siap menyambut
maka jadilah kami batang pisang,
berbaris di sepanjang tanjung, sepanjang tahun,
atau jadilah kami cumi-cumi, yang menanti janji
di akhir hari, sebilah keris akan kami warisi,
setelah jantung dan lambung kami, terburai
di paruh hiu bertulang sejati
pandan terletak dilangkahi
darahnya titik di singapura
badannya terhantar di langkawi
lihatlah telapak tanganku, puan
dari pasai, garis-garis itu bersilangan
tak ada ujung yang patah, pada pangkal
ia tersadai
mungkin pinang terbelah itu,
bukan sihir di matamu, bukan pada dendam
mestinya dikutuk, tapi sebagai tun,
merantau adalah janji, seperti pantun
sampiran adalah juga isi
aku pernah datang pada maghrib,
saat suamimu raib, di hujung pasar
sebuah kampung pernah gusar, padahal
tak sampai ke ceruk aku bertamu, tak pula
ke lubuk sampaiku di hatimu
apakah ini cinta, atau gelap mata,
kadang orang tumbang di tengah dendang,
saat orang bilang maling pada pendatang,
kadang, aku bimbang pada tumbang,
saat kau telanjang sambil melenggang
alahmak, aduhai, alangkah,
bahwa murka, adakah ia lupa pada tuhan,
sebab wahai, kezaliman ini milik siapa,
jika tertangkap kita, mari selingkuh,
atau dibunuh
maka aku mati, kerismu menusuk
di hatiku, kelak kau luka jika tak berduka,
tapi suamimu raja singapura, tegak berdoa
bagai tak rela, entah kau si penabur bunga,
entah menangis entah menahan tawa
todak, todak, todak, suara siapakah
yang bergelombang itu, nelayan tak melaut
seribu tahun lalu, maka takutlah sejarah,
pada dayung patah, pada sampan terbang,
ikan-ikan yang tak pandai berenang
tapi si gladius menombak,
menyibak air birahimu, ini jantan atau betina,
pada puncak arus ikan-ikan kecil berdansa,
si tuna atau brakuda, tak penting pada siapa
ia memangsa, makan, makan, makan
lalu itukah hening, yang kau ceritakan
pada anak sungai, sehabis badai, setelah kematian
merebak di mana-mana, padahal itulah asin,
anyir darah dari nyeri, rasa sakit pulau-pulau,
itulah sepi, detak jam yang mati
hang nadim, hang nadim, hang nadim,
lalu anak-anak bangkit, orang tua yang pandai
membunuh, yang tumbuh tak mesti api, tapi sirih
merambat di tiang langit, memanjat bagai semut,
dan tengoklah, tangan tuhan siap menyambut
maka jadilah kami batang pisang,
berbaris di sepanjang tanjung, sepanjang tahun,
atau jadilah kami cumi-cumi, yang menanti janji
di akhir hari, sebilah keris akan kami warisi,
setelah jantung dan lambung kami, terburai
di paruh hiu bertulang sejati
pulau hilimun
yang menyerang, saat tubuh datu’ semedi,
dari arah laut,
adalah ribuan ikan bergigi tajam
kau bertanya, apakah sejarah ikan
adalah sejarah perang,
laut tak pernah bertanya
kenapa tubuhnya bergelombang
beginilah ia, mereka,
percakapan dimulai dari rasa haru
memandang biru sebagai gemuruh
dari dasar hitam matamu
apakah kau berdusta,
pada raja todak, atau pada segala
yang bernama air, bahwa samudra
telah pecah,
dan berkawin dengan tanah
maka terpelantinglah aku,
ke lubuk, mungkin rawa yang dulu
kau cintai, bukan teluk yang buruk
oleh musim abu,
jerebu dari api gambut
dan tengoklah,
yang melompat dari dasar laut,
melepas hama di sekujur tubuhmu,
ini anak-anak kandungku, katamu,
tapi siapa yang mengutuk batu
hingga pulau ini tenggelam,
dan kau tangisi saban malam
padahal wahai,
yang seketika timbul ke bumi,
tumbuh dari kesetiaan adalah
sebuah daratan,
inikah harapan itu,
hujan yang seketika jatuh dari
mata langit, juga matamu,
inikah mitos
pengkhianatan itu
dari arah laut,
adalah ribuan ikan bergigi tajam
kau bertanya, apakah sejarah ikan
adalah sejarah perang,
laut tak pernah bertanya
kenapa tubuhnya bergelombang
beginilah ia, mereka,
percakapan dimulai dari rasa haru
memandang biru sebagai gemuruh
dari dasar hitam matamu
apakah kau berdusta,
pada raja todak, atau pada segala
yang bernama air, bahwa samudra
telah pecah,
dan berkawin dengan tanah
maka terpelantinglah aku,
ke lubuk, mungkin rawa yang dulu
kau cintai, bukan teluk yang buruk
oleh musim abu,
jerebu dari api gambut
dan tengoklah,
yang melompat dari dasar laut,
melepas hama di sekujur tubuhmu,
ini anak-anak kandungku, katamu,
tapi siapa yang mengutuk batu
hingga pulau ini tenggelam,
dan kau tangisi saban malam
padahal wahai,
yang seketika timbul ke bumi,
tumbuh dari kesetiaan adalah
sebuah daratan,
inikah harapan itu,
hujan yang seketika jatuh dari
mata langit, juga matamu,
inikah mitos
pengkhianatan itu
lolucon:seorang prajurit berbicara kepada pistolnya
Seorang prajurit berkata pada pistolnya.
”Kita jangan tembak orang lagi, tol.”
Pistol menjawab:
”Mengapa? Bukankah enak melihat mereka meregang nyawa?”
”Ya, tapi saya sudah tak yakin lagi, apa benar orang yang kita tembak itu, bersalah.”
”Mengapa jadi ragu-ragu begitu? Pilihannya dia atau kita!”
”Ya. Tapi, tak tahulah. Aku masih juga tak enak. Seperti diburu-buru.”
”Barangkali kau hanya butuh istirahat.
Barangkali kau telah terlalu banyak menarikku.
Sekarang biarkan aku menarik diriku sendiri.”
”Kita jangan tembak orang lagi, tol.”
Pistol menjawab:
”Mengapa? Bukankah enak melihat mereka meregang nyawa?”
”Ya, tapi saya sudah tak yakin lagi, apa benar orang yang kita tembak itu, bersalah.”
”Mengapa jadi ragu-ragu begitu? Pilihannya dia atau kita!”
”Ya. Tapi, tak tahulah. Aku masih juga tak enak. Seperti diburu-buru.”
”Barangkali kau hanya butuh istirahat.
Barangkali kau telah terlalu banyak menarikku.
Sekarang biarkan aku menarik diriku sendiri.”
Langganan:
Postingan (Atom)