mitos satu:
indrapura, melayu champa
yang tumbang, saat ia menyerang
dari arah laut
adalah betismu, puteri dai viet
yang tengah rekah meminum embun
dari langit champa
adalah bibirmu, mengucap-ucap
daulat rajaku, daulat tuhanku
bahwa pedang pipih (yang kelak menancap)
pada rahim pantaimu
pada ruas arus di dadamu
darahnya akan jadi sejarah
yang terus berlayar
mengaji sungai merah
mengurai marwah
maka sebagai penunggu laut
aku kenali dikau
lewat isyarat warna langit
seperti warna punggungmu
yang keperakan
berkejaran bagai kaki hujan
di permukaan gelombang
tapi di kedalaman sempadan
pada rahang panjang
ikan-ikan berkulit licin
kutemukan sebutir pasir
berwarna lumut
seperti warna matamu
yang kerap sembab
di lembab batu
didekap rindu
tapi bukankah hanya karena sisik
maka kita dapat saling bertemu
dalam sangkar emas
di kota-kota mati
dari majapahit ke vietnam
(ketakutan itu, katamu
dapat membunuh ingatan
tentang rasa cemburu
melukai keyakinan
iman para pemburu)
lalu apa yang kau tulis
di atas ranjang raja jaya
saat aku kini nakhoda buta
hendak jadi jatnaka
atau hang tuah yang setia
apakah syair cinta itu
yang menggoda malaka
untuk mencium indrapura
tapi aku orang cham
orang cham yang pelupa
bahwa di tahun seribu itu
kau menyerang dari laut
sambil berteriak
todak, todak, todak
(apa yang kau rampas
adalah bendera putih
dari sobekan kelambu
ranjang kayu masa lalu
adalah sakit hati
atas kekuasaan waktu
yang hendak kau pinang
yang hendak kau timang)
tapi bukankah berkali-kali
kita menjauh dari remang
berkali-kali pula jatuh
sebelum terbang
Selasa, 29 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar